DEKLARASI GENAM BEKASI

Miras Oplosan, RUU Minol, dan Perlawanan Kaum Marjinal

Di Jabodetabek korban minuman keras oplosan seperti tidak pernah ada habisnya. Dalam sepekan terakhir, setidaknya 28 nyawa melayang akibat menenggak miras oplosan di wilayah hukum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya) terus berjatuhan.

Sepuluh orang tewas di Jakarta Timur, delapan orang di Jakarta Selatan, empat orang di Depok, dan dua orang di Kota Bekasi. Plus ada dua korban meninggal lainnya. Mereka diketahui membeli dan menenggak miras beralkohol sejak Sabtu (31/3) hingga Ahad (1/4).

Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Pol Indra Jafar dan Kapolres Metro Jakarta Timur Kombes Pol Tony Surya Putra menyampaikan keterangan pers bersama perihal perkembangan kasus di wilayah hukum masing-masing di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Rabu (4/4).

Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) menilai lambannya pengesahan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol (RUU Minol) telah menghadirkan korban jiwa akibat minuman keras hasil mengoplos (miras oplosan). Oleh karena itu, DPR dan pemerintah didesak merampungkan RUU tersebut menjadi UU.

Ketua Genam Fahira Idris menilai bahaya miras, apalagi miras oplosan, setara dengan narkoba. Namun, ironisnya, sampai dengan sekarang tidak ada UU yang melarang minuman haram tersebut. “Kepada ketua DPR dan Presiden tolonglah instruksikan agar RUU ini segera dirampungkan. Sudah bertahun-tahun RUU ini molor disahkan. Bayangkan, RUU ini oleh DPR sedianya ditargetkan rampung Juni 2016, tapi sampai sekarang tidak jelas,” kata Fahira di Kota Yogyakarta, DIY, kemarin.

Menurut dia, masalah besar berupa miras tidak hanya diatur lewat peraturan menteri. Peraturan setingkat UU dibutuhkan untuk mengatasi berbagai persoalan terkait miras, mulai dari sisi produksi, peredaran, hingga konsumsi miras yang begitu kompleks. “Mohon maaf, negeri ini tidak punya skala prioritas menyelesaikan masalah di masyarakat,” ujar Fahira.

RUU Minol adalah RUU inisiatif DPR yang masuk Prolegnas Prioritas sejak 2015. RUU ini juga sebenarnya sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2009-2014. Dalam RUU Minol ini, minuman beralkohol dilarang diproduksi, diedarkan, dan dikonsumsi kecuali untuk kepentingan-kepentingan tertentu yang sangat terbatas, misalnya kebutuhan farmasi, ritual adat, keagamaan, serta wisata.

Kota Solo hingga saat ini belum memiliki peraturan tentang peredaran miras. Padahal, jika menengok sejumlah kasus kriminal yang berhasil ditangani jajaran Polresta Solo dalam beberapa bulan terakhir, pelakunya berlatar belakang pengonsumsi miras.

Seperti kasus RS (22 tahun) yang ditangkap Polresta Solo pada (27/3) karena mencoba melakukan pemerkosaan setelah menenggak miras. Belum lagi kasus dua warga Serengan, Solo, pertengahan tahun lalu. Mereka tewas setelah menenggak miras yang dioplos dengan ginseng.

Wakil Wali Kota Solo Achmad Purnomo pun mengakui, hingga saat ini Pemerintah Kota Solo dan DPRD Kota Solo masih menggagas pembuatan perda miras. Menurut dia, belum dibuatnya perda tentang miras karena diskusi kedua pihak masih alot. Salah satunya terkait tempat peredaran.

“Karena masih tempat yang seperti apa yang diperbolehkan, hotel yang seperti apa yang diperbolehkan,” kata Purnomo saat menghadiri pemusnahan ratusan barang bukti narkoba dan miras di halaman Kantor Kajari Solo, Kamis (5/4).

Meski demikian, Purnomo tegas melarang beredarnya miras di lingkungan masyarakat. Karena itu, dia menginstruksikan aparat Satpol PP Kota Solo untuk semakin meningkatkan patroli demi mengantisipasi jual beli miras di toko-toko kelontong.

Di lain sisi, Purnomo memberi pengecualian pada perhotelan di Solo. Menurut dia, penjualan miras di hotel-hotel berbintang tak bisa dihilangkan karena terkait wisata. “Hanya penyaluran khusus, tak bisa dihilangkan. Karena itu, menyangkut internasional, wisata, dan sebagainya,” ujarnya.

Perlawanan kaum marjinal
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) Jakarta Raya mempertanyakan peredaran miras oplosan di pasaran hingga memakan korban jiwa. Ketua PDSKJI Jaya Nova Riyanti Yusuf menilai, seharusnya hal tersebut tidak terjadi.

“Jadi seharusnya, pihak-pihak yang melihat miras oplosan menyebabkan meninggal, bertanggung jawab dan harus menertibkan,” ujarnya, Jumat (6/4).

Nova menceritakan, saat menjadi wakil ketua Komisi IX DPR periode 2009-2014, anggota dewan pernah memprotes masalah keamanan pangan dan pengawasan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun, menurut dia, pemerintah beralasan ini kerja sama lintas sektor. Alasan lain adalah minimnya personel.

Nova mengakui, memang dibutuhkan kerja lintas sektor, seperti kepolisian, pihak BPOM, hingga pelabuhan yang menjadi pintu masuk miras oplosan. Namun, potensi yang ada memungkinkan memberantas praktik terkait minuman haramĀ  itu.

Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Bagong Suyanto menilai beredarnya minuman keras (miras) oplosan yang mengakibatkan korban jiwa sebagai bentuk perlawanan simbolik masyarakat kelas marginal terhadap kelas mapan. Menurut Bagong, kasus ini menjadi persoalan subkultur.

“Mereka (masyarakat marginal) mengembangkan gaya hidup yang berbeda,” katanya, Jumat (6/4).

Ia menjelaskan, ada mental perlawanan masyarakat marginal terhadap kelas mapan. Artinya, kata dia, meski tahu miras oplosan ini berisiko menghilangkan nyawa tetapi mereka menganggap lebih gagah, lebih macho jika menenggaknya dibandingkan kelas mapan yang hanya berani minum miras yang aman.

Miras oplosan ini diyakini sebagai simbol perlawanan gaya hidup kelas mapan yang lebih suka minum yang aman-aman saja. “Ini menjadi perlawanan simbolik,” ujarnya.

(rr laeny sulistyawati, Pengolah: muhammad iqbal). Republikahttp://m.republika.co.id/berita/nasional/news-analysis/18/04/07/p6t706440-miras-oplosan-ruu-minol-dan-perlawanan-kaum-marjinal-part2

Leave a Reply