Kota Bandung masih menyimpan ancaman kecelakaan yang diakibatkan berkendara dalam keadaan mabuk. Dari laporan resmi selama 2018, kasus kecelakaan yang dipicu berkendara dalam kondisi mabuk yang tercatat hanya satu kecelakaan yang mengakibatkan luka-luka.
Saat ini, Satlantas Polrestabes Bandung tengah mempersiapkan penegakan hukum untuk kasus mengemudi sambil mabuk. Dalam waktu dekat, Satlantas Polrestabes Bandung bersama peneliti dari Universitas Padjadjaran dan John Hopkins University akan melakukan uji sampel untuk menakar perkembangan budaya mengemudi sambil mabuk di Kota Bandung.
Koordinator Pelaksana BIGRS Bandung Kombes (Purn) Hamsyin Rifai menjelaskan, Indonesia belum mengenal aturan terkait kadar batasan alkohol yang diperbolehkan saat berkendara. Akan tetapi, saat ini telah hadir 15 Breathalyzer, alat pengukur kadar alkohol dalam tubuh yang bisa digunakan Satlantas Polrestabes Bandung dalam menindak para pengendara yang melanggar.
“Alat tersebut bisa dijadikan dasar penanganan kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan korban, akibat pengendara terlibat yang dipengaruhi alkohol,” ujar Hamsyin, dalam lokakarya Drink Driving Enforcement (Penegakan Hukum Mengemudi sambil Mabuk) dan Effective Communication Strategies with the Media (Strategi Komunikasi yang Efektif dengan Media), di Bandung, Selasa, 2 Juli 2019. Acara itu merupakan kolaborasi Pemerintah Kota Bandung dan Satlantas Polrestabes Bandung bersama Bloomberg Philanthropies Initiative for Global Road Safety (BIGRS).
Dengan Breathalyzer, prosedur penindakan bisa dilakukan. Kadar alkohol yang melewati batas alat tersebut bisa ditindak oleh polisi. Dunia internasional mendorong Indonesia membuat regulasi terkait batasan kadar alkohol bagi pengendara itu. Regulasi itu diperlukan sebagai alat pencegahan kemateian akibat keterlibatan pengendara di bawah pengaruh alkohol. “Di India batasnya 0.05 g/dl, dan di negara lain maksimal 0.08 g/dl. Kita belum meratifikasi aturan itu,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, kata Hamsyin, Satlantas Polrestabes Bandung, BIGRS, dan Peneliti Unpad akan melakukan survei di sejumlah titik di Kota Bandung. Survei diperlukan untuk mengukur sampel kebiasaan warga Bandung dalam mengonsumsi alkohol, pola dan waktu mabuk, hingga presentase pengaruh alkohol dalam berkendara. “Mudah-mudahan dari hasil survei itu bisa dijadikan kajian ke pemerintah pusat supaya jadi aturan tetap,” ucapnya.
Bloomberg Philanthropies Initiative for Global Road Safety (BIGRS), melalui kedua mitranya, Global Road Safety Partnership (GRSP) dan Vital Strategies, tengah mempersiapkan kampanye untuk menekan angka berkendara dalam kondisi mabuk di Kota Bandung. Lokakarya Drink Driving Enforcement (Penegakan Hukum Mengemudi sambil Mabuk) dan Effective Communication Strategies with the Media (Strategi Komunikasi yang Efektif dengan Media) itu melibatkan 20 anggota kepolisian (6 Perwira dan 14 Brigadir) dari unit Satlantas Polrestabes Bandung.
GRSP Program Manager untuk Road Policing Capacity Building, Marcin Flieger mengatakan, yang paling penting adalah mengedukasi publik terkait risiko mengemudi dalam kondisi mabuk. Melalui pengalamannya sebagai polisi lalu lintas di New Zealand, para pelanggar diberi hukuman berat karena terdapat potensi kematian yang diakibatkan berkendara di bawah pengaruh alkohol melewati batas yang dibolehkan.
Maka, diharapkan ada regulasi yang bisa memperkuat peran kepolisian dalam menegakkan hukum bagi para pelanggarnya. Ia meyakini regulasi itu akan didukung penuh oleh sebagian besar masyarakat.
Program pelatihan itu merupakan salah satu program dari BIGRS untuk memperkuat institusi kepolisian dalam menegakkan peraturan. Dibentuk pelatihan yang dapat mendukung Satlantas Polrestabes Bandung dalam merumuskan strategi dan pelaksanaan operasional di jalan raya, maupun unsur-unsur penting lainnya bagi pihak Kepolisian.
“Berkendara dalam keadaan mabuk menjadi salah satu faktor risiko penyebab tabrakan lalu lintas selain mengemudi melampaui batas kecepatan (mengebut), penggunaan helm dan sabuk keselamatan yang tidak di-klik, dan absennya penggunaan sistem pelindung anak (childrestraint),” ujarnya.
Dalam laporannya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan bahwa konsentrasi alkohol dalam darah di atas 0.05 g/dl dapat meningkatkan risiko tabrakan lalu lintas hingga 40 kali lipat dibandingkan mereka yang sama sekali tidak mengkonsumsi alkohol saat berkendara. Dalam buku Bandung Road Safety Annual Report 2015-2016 disebutkan, pada 2016 terdapat 3 persen kasus tabrakan lalu lintas akibat pengaruh alkohol yang terjadi di Kota Bandung.
Kasatlantas Polrestabes Bandung AKBP Agung Reza mengatakan, terdapat empat faktor pemicu tabrakan lalu lintas yaitu faktor manusia, kondisi jalan raya, kondisi alam, dan kendaraan itu sendiri. Mengemudi di bawah pengaruh alkohol menjadi masuk ke dalam faktor manusia yang tidak bisa dibiarkan. “Dibutuhkan tindakan-tindakan preventif untuk menekan angka kasus tabrakan dan korban akibat mengemudi sambil mabuk,” ujarnya. Pikiran-rakyat.com