Pernyataan Sekjen MUI tentang minum miras sebagai pintu masuk HIV/AIDS merupakan informasi yang menyesatkan karena miras bukan pintu masuk HIV/AIDS
Beberapa media online pekan lalu mengutip pernyataan Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas, yang mengatakan bahwa minum minuman keras sebagai pintu masuk HIV/AIDS. Pernyataan ini menyesatkan karena tidak ada kaitan antara minum minuman keras atau minuman yang mengandung alkohol dengan infeksi atau penularan HIV/AIDS.
Sebagai media, dalam hal ini media online, ada asas jurnalistik untuk menulis berita dengan asas cover both side yaitu melakukan check and re-check atau melakukan konfirmasi dengan pihak terkait atau dengan pihak yang mempunyai komptensi tentang informasi tersebut. Tapi, dalam berita terkait dengan ‘miras pintu masuk HIV/AIDS’ media tidak menjalankan asas cover both side.
Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat adalah hoaks (informasi bohong) karena secara empiris dan fakta medis tidak ada kaitan meminum miras atau minuman yang mengandung alkohol dengan infeksi atau penularan (virus) HIV.
Dalam jumlah yang bisa ditularkan, HIV sebagai virus hanya yang ada di darah (laki-laki dan perempuan) semen dan air mani bukan sperma (laki-laki), cairan vagina (perempuan) dan air susu ibu/ASI (perempuan).
- Pertambahan Kasus HIV/AIDS Tercepat Ketiga di Asia
Penularan HIV/AIDS melalui darah yaitu transfusi darah yang mengandung HIV, pemakaian alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah (seperti jarum suntik), jarum suntik pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya) yang dipakai secara bersama-sama dengan bergantian, dan cangkok organ tubuh.
Penularan HIV/AIDS melalui semen, air mani dan cairan vagina yaitu hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari yang mengidap HIV/AIDS ke pasangannya.
Penularan HIV/AIDS melalui ASI yaitu menyusui kepada seorang perempuan yang mengidap HIV/AIDS, seperti bayi dan yang yang lain.
Secara medis hanya tiga hal di atas yang jadi pintu masuk HIV/AIDS sehingga sudah terang-benderang bahwa tidak ada kaitan antara miras dengan penularan HIV/AIDS. Menyebarkan hoaks terkait dengan HIV/AIDS justru membingungkan masyarakat sehingga jadi kontra produktif dalam penanggulangan HIV/AIDS. Padahal, saat ini pertambahan kasus HIV/AIDS di Indonesia merupakan yang tercepat ketiga di Asia setelah China dan India.
Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI,12 Agustus 2020, menunjukkan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia dari tahun 1987 sampai 30 Juni 2020 sebanyak 522.304 yang terdiri atas 396.717 HIV dan 125.587 AIDS dengan 17.210 kematian.
- Pintu Masuk HIV/AIDS Terkait dengan Moral
Yang perlu diingat adalah jumlah kasus yang terdeteksi atau dilaporkan, dalam hal ini 522.304, tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Jumlah kasus yang terdeteksi (522.304) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Tingkat risiko tertular HIV/AIDS yang paling umum adalah melalui hubungan seksual karena tranfusi darah diatur pemerintah melalui PMI yaitu melakukan skrining HIV/AIDS terhadap darah donor sebelum ditransfusikan. Sedangkan melalui jarum suntik pada penyalah guna narkoba juga sudah diintervensi, antara lain dengan rumatan metadon.
Penularan melalui ASI ditanggulangi dengan anjuran tes HIV/AIDS bagi perempuan hamil sehingga infeksi HIV bisa dideteksi. Namun, perempuan yang jadi pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung tidak bisa dideteksi sehingga laki-laki hidung belang yang juga sering ‘menyusu’ ke PSK berisiko tertular HIV/AIDS kalau PSK mengidap HIV/AIDS.
Kalau saja MUI sebagai institusi keagaman lebih arif tentulah bisa berperan besar dalam penanggulangan HIV/AIDS karena pintu masuk HIV/AIDS merupakan perilaku berisiko tertular HIV/AIDS terkait dengan norma, moral dan agama. Dalam hal inilah MUI dituntut bisa mendorong umat, khususnya umat Islam, menghindari perilaku-perilaku berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yaitu:
(1). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di dalam nikah, dengan perempuan dan laki-laki yang berganti-ganti karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;
(2). Laki-laki dan perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom, di luar nikah, dengan perempuan atau laki-laki yang berganti-ganti (seperti perselingkuhan, perzinaan, dll.) karena bisa saja salah satu dari perempuan atau laki-laki tersebut mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;
(3). Perempuan dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan, seperti gigolo, dengan kondisi gigilo tidak memakai kondom, karena bisa saja salah satu dari gigolo itu mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS;
- PSK Langsung dan PSK Tidak Langsung
(4). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK), karena bisa saja salah satu dari PSK tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.
PSK dikenal ada dua jenis, yaitu:
(a). PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti yang mangkal di tempat pelacuran (dulu disebut lokalisasi atau lokres pelacuran) atau mejeng di tempat-tempat umum, dan
(b). PSK tidak langsung yaitu PSK yang tidak kasat mata. Mereka ini ‘menyamar’ sebagai anak sekolah, mahasiswi, cewek pemijat, cewek pemandu lagu, ibu-ibu, cewek (model dan artis) prostitusi online, dll. Dalam prakteknya mereka ini sama dengan PSK langsung sehingga berisiko tertular HIV/AIDS.
(5). Laki-laki dewasa heteroseksual (secara seksual tertarik dengan lawan jenis) tidak melakukan hubungan seksual tanpa memakai kondom dengan waria karena ada waria yang sering ganti-ganti pasangan sehingga bisa jadi waria tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko terjadi penularan HIV/AIDS.
Pemerintah tidak bisa melakukan intervesi pada perilaku nomor 1, 2, 3, 4 b dan 5. Yang bisa diintervensi, seperti yang dilakukan dibeberapa negara, misalnya, Thailand, adalah pada nomor 3 a dengan syarat praktek PSK langsung dilokalisir. Intervensi dilakukan untuk memaksa laki-laki selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.
Namun, di Indonesia hal itu tidak bisa dijalankan karena sejak reformasi semua lokalisasi pelacuran ditutup. Akibatnya, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu dengan berbagai modus melalui media sosial.
Tanpa langkah-langkah yang konkret menanggulangi epidemi HIV/AIDS, maka penyebaran HIV/AIDS di masyarakat akan terus terjadi sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. Tegar.id