meninggal akibat miras oplosan di Kamboja

Cerita Miris Malapetaka Akibat Miras Oplosan di Kamboja, Sebulan 30 Orang Tewas

Di wilayah pedesaan Kamboja, puluhan orang tewas dalam beberapa bulan terakhir setelah menenggak minuman keras oplosan, yang ternyata beracun.

Seperti di Desa Thnong, Provinsi Kampot, miras oplosan menyebabkan malapetaka di suatu acara perkabungan.

Prom Vannak, 50 tahun, hampir tiap hari menenggak beberapa gelas arak beras, terutama sejak menderita kecelakaan sepeda motor yang menyebabkan dia luka parah sehingga berhenti kerja sebagai nelayan.

Ketika pamannya yang bernama Muth — juga seorang peminum berat — meninggal dunia Mei lalu, tidak diragukan lagi bahwa acara perkabungannya akan diisi dengan ajang minum-minum sekaligus reuni keluarga dan teman di desa itu.

Vannak lalu mulai minum pagi itu dan tertidur lebih awal pada malam hari.

Begitu bangun keesokan harinya, dia mengaku kepada istrinya tiba-tiba tidak enak badan.

“Dia mengaku sangat kelelahan dan ketika minum arak anggur itu dia langsung sangat mengantuk,” kata istrinya, Hun Pheap.

Saat itu Pheap merasa tidak ada yang aneh dan kembali ikut acara hari kedua perkabungan. Sedangkan Vannak tetap di rumah dan tidur, karena mereka mengira masih mabuk.

Namun, di malam hari, Vannak mulai gemetar dan muntah-muntah. Pheap membujuk suaminya untuk ke rumah sakit, namun permintaan itu ditolak karena bagi dia cukup butuh istirahat saja.

Keesokan paginya, dia tidak lagi bernyawa.

“Dia saat itu membuka mulut dan berupaya menyampaikan pesan kepada ibu dan anak-anaknya,” kata Pheap.

“Air matanya bercucuran, lalu dia meninggal. Dia hanya bisa membuka mulut namun tidak bisa bicara.”

Vannak adalah satu dari delapan orang yang meninggal setelah minum miras pada hari pemakaman pamannya.

Lebih dari 50 orang dilarikan ke rumah sakit. Lalu dua orang dari desa itu meninggal setelah minum miras yang sama.

Hun Vy telah ditinggal mati dua kerabatnya dan dia pun dilarikan ke rumah sakit setelah minum miras beracun itu.

“Setelah meminumnya, saya merasa pusing, mulai muntah. Tangan dan kaki saya jadi lemah,” kata dia. “Saya bisa saja langsung meninggal.”

Keracunan massal itu merupakan satu dari tiga kasus di Kamboja yang terjadi tidak sampai sebulan, namun sudah menewaskan sedikitnya 30 jiwa.

Tiga belas orang meninggal di Provinsi Pursat di awal Juni dan sedikitnya 12 meregang nyawa di Kandal pada 10 Mei lalu.

Pengujian atas miras yang disuguhkan di acara perkabungan itu menunjukkan upaya untuk menambah efek mabuk pada miras oplosan itu ternyata sudah sampai pada level metanol yang berbahaya.

Keracunan metanol ini bukan kasus baru di pedesaan Kamboja, di mana miras oplosan jadi hidangan populer di pesta pernikahan, acara-acara lainnya hingga kedukaan.

Miras oplosan jadi alternatif yang murah ketimbang membeli bir atau miras yang dijual di toko-toko.

“Sejak pertengahan 1990-an, saat saya mulai bekerja di Kamboja, biasa terlihat penyuling di rumah atau di toko membuat miras oplosan dengan alat seadanya. Mereka lalu menjual wiski rumahan itu ke tetangga-tetangga,” kata Jonathan Padwe, seorang antropolog yang pernah bekerja di Kamboja.

Sebagian besar desa di Kamboja setidaknya punya satu — sering kali dua atau tiga — usaha penyulingan miras namun tidak dikendalikan maupun diawasi secara legal, lanjut Padwe.

Metanol adalah sejenis alkohol yang biasanya digunakan untuk keperluan beragam industri, antara lain sebagai pelarut pada tinta, pewarna dan pernis.

Mengingat lebih murah diproduksi ketimbang etanol — satu-satunya jenis alkohol yang aman untuk dikonsumsi — sering kali methanol dijadikan bahan miras oplosan untuk meningkatkan kadar alkohol agar bisa mendapat laba yang besar, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah seperti Kamboja.

Sejak meningkatnya kasus kematian akibat keracunan metanol itu, pihak berwenang Kamboja berupaya menunjukkan bahwa mereka serius mengusut masalah tersebut.

Sedikitnya 15 penyuling miras arak beras dan penjualnya telah ditangkap, kata polisi Kamboja.

Sedangkan Kementerian Kesehatan mengimbau warga tidak mengonsumsi miras oplosan karena berisiko beracun.

Di Pursat, aparat telah melarang produksi dan penjualan arak beras dan herbal. Distrik yang menjadi lokasi desa Thnong juga melarang untuk sementara waktu produksi, impor dan ekspor serta peredaran arak beras.

Namun Dr Knut Erik Hovda, pakar global soal keracunan metanol dari Universitas Oslo, mengatakan memberi pendidikan atas bahaya miras oplosan lebih penting ketimbang merazia penjualnya.

“Tentu saja bila saya jadi aparat di Kamboja saya tidak akan membiarkan orang-orang menjual miras beracun itu, tapi saya tidak terfokus ke hal itu,” kata Hovda.

“Saya akan fokus pada mengedukasi warga dan penyedia layanan kesehatan soal bagaimana mengatasinya saat kasus itu terjadi. Ini telah terjadi selama 100 hingga 150 tahun terakhir dan akan terus terjadi.”

Cuma menutup penyulingan miras oplosan juga tidak menjamin bakal tidak adanya tempat penyulingan baru, kata Hovda.

Justru akan lebih baik bila melacak sumber penyedia alkohol beracun itu.

Menurut dia, Kementerian Kesehatan telah membuat beberapa kemajuan dalam mengimplementasikan program untuk mengidentifikasi dan mencegah keracunan metanol dengan lebih baik, tetapi kemajuannya terhambat oleh pandemi Covid-19.

Kementerian Kesehatan menolak berkomentar terkait berita ini.

Di Desa Thnong, suasananya tidak lagi sama sejak hari pemakaman Muth. Banyak warga di sana berduka akan meninggalnya kerabat mereka.

Polisi sudah menanyai seorang perempuan yang sudah menjual arak beras di desa itu selama puluhan tahun setelah sejumlah warga mengaku membelinya dari dia. Namun perempuan itu tidak ditangkap.

Perempuan yang bernama Kolap itu dan beberapa warga lain di desa tersebut yakin arwah mereka yang meninggal itu masih gentayangan.

“Saya takut dengan hantu karena pada hari itu banyak orang yang meninggal dan ini menakutkan saya,” ujarnya. “Mereka bikin ribut di rumah saya sehingga tidak bisa tidur.”

Hun Pheap pun punya ketakutan serupa walaupun sudah memanggil achar, yaitu orang yang memimpin acara adat tradisional – agar bisa menenangkan roh suaminya lewat suatu ritual.

Dia mengaku rindu dengan mendiang suaminya dan terkadang membayangkan mereka duduk berdua sambil menyaksikan anak-anak bermain bola voli.

Hun menyambut baik ditutupnya penjualan arak beras di desanya. Namun, bagi dia, itu sudah terlambat.

“Tanpa suami, hidupku ibarat layang-layang terbang tanpa benang,” ujarnya. “Saya marah, tapi bisa apa?” BBC

Leave a Reply