NASKAH AKADEMIK[1]
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG LARANGAN MINUMAN BERALKOHOL
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. TUJUAN, DAN KEGUNAAN
D. METODE
II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
B. KAJIAN TERHADAP ASAS (PRINSIP)
C. KAJIAN TERHADAP KONDISI YANG ADA
D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU
III. ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KONDISI HUKUM YANG ADA
B. KETERKAITAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN DAERAH
C. HARMONISASI SECARA VERTIKAL DAN HORIZONTAL
IV. LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. LANDASAN FILOSOFIS
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
C. LANDASAN YURIDIS
V. JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP
MATERI MUATAN
A. JANGKAUAN
B. ARAH PENGATURAN
C. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
1. Ketentuan Umum (Pengertian istilah, dan frasa)
2. Materi yang akan diatur
3. Ketentuan sanksi
4. Ketentuan peralihan
VI. PENUTUP
A. KESIMPULAN
B. SARAN
VII. DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konstitusi Indonesia Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyebulkan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya kehidupan masyarakat di dalamnya terbentuk dalam bingkai ajaran agama. Secara ideal sebagai negara yang beragama, akan lebih mudah mengatur perkembangan minuman beralkohol atau yang sering juga disebut minuman keras (miras) yang setiap saat dapat mengancam jiwa manusia.
Ajaran setiap agama pasti sepakat bahwa keberadaan minuman beralkohol dapat mengancam jiwa manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun kenyataan yang ada, negara kita sampai sekarang belum dapat membuat payung hukum tentang undang-undang larangan miuman beralkohol. Hal ini tidak lepas dari banyaknya kepentinga politik yang ada di dalamnya.
Perlu disadari bahwa adanya tuntutan masyarakat untuk membuat
Peraturan hukum/undang-undang tentang larangan minuman beralkohol, jangan disalah-artikan bahwa itu adalah keinginan/kepentingan sebagian umat Islam dalam rangka menerapkan syariat Islam. Tuntutan dibentuknya UU tentang Larangan Minuman Beralkohol lebih dikarenakan bahaya minuman keras itu sendiri dalam kehidupan manusia.
Sebagai contoh di Amerika Serikat meskipun pemerintah AS tidak
merujuk pada agama Islam, Presiden Reagan (1986) telah melakukan kampanye larangan minuman beralkohol (say no to alcoho) dan memberlakukan UU Larangan Minuman Beralkohol yang pada intinya berupa pelarangan dengan pengecualian.
Memang sungguh dilematis di negeri kita ini. Dalam konstitusi menegaskan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa, namun dalam menyikapi perkembangan tentang minuman berlakohol pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa. Perkembangan minuman beralkohol tidak hanya menjadi ancaman bagi umat Islam yang secara tegas mengharamkan di dalam kitab sucinya, namun minuman beralkohol juga merupakan ancaman bagi hidup dan kehidupan manusia dimuka bumi ini, khususnya di Indonesia. Sedangkan hak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat dalam kehidupan manusia merupakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945) yang berbunyi: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Hak dasar ini tidak boleh dilanggar oleh siapa pun dan harus dijunjung tinggi dan dihormati agar setiap orang dapat menikmati kehidupannya dengan sejahtera.
Salah satu program pembangunan nasional adalah meningkatkan
mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dengan pendekatan paradigma sehat, yang memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, dan rehabiitasi sejak pembuahan dalam kandungan sampai usia lanjut. Dan untuk mencapai hal tersebut, diperlukan pengaturan tentang pengendalian dampak minuman keras terhadap kesehatan.
Adapun dampak negatif minuman beralkohol antara lain sebagai berikut;
1. GMO (Gangguan Mental Organik), yang mengakibatkan perubahan
perilaku seperti bertindak kasar, sehingga bermasalah dengan keluarga,masyarakat, dan kariernya. Perubahan fisiologis, seperti mata juling, muka merah, dan jalan sempoyongan. Kemudian, perubahan psikologi,seperti susah konsentrasi, bicara melantur, mudah tersinggung, dan lainnya.
2. Merusak Daya Ingat, yaitu pada usia remaja (17-19 tahun), otak manusia masih mengalami perkembangan pesat, oleh karena itu, sayang sekali jika remaja sudah biasa dengan kecanduan minuman beralkohol, karena akan menghambat perkembangan memori dan sel-sel otak.
3. Odema Otak, merupakan pembengkakan dan terbendungnya darah pada jaringan-jaringan otak sehingga mengakibatkan gangguan koordinasi dalam otak secara normal.
4. Sirosis Hati, penyakit ini ditandai oleh pembentukan jahngan ikat disertai nodul pada hati karena infeksi akut dan virus hepatitis yang menyebabkan peradangan sel hati yang luas dan kematian sel.
5. Gangguan Jantung, mengonsumsi minuman beralkohol, apalagi kecanduan, bisa mengakibatkan gangguan Jantung, dimana lama kelamaan Jantung tidak akan berfungsi dengan baik.
6. Gastrinitis, yaitu karena kecanduan minuman keras dimana menyebabkan radang, atau luka pada lambung.
7. Paranoid, yaitu gangguan kejiwaan karena kecanduan dimana seolah-olah merasa dipukuli, sehingga perilakunya kasar terhadap orang-orang yang ada disekitarnya, atau seperti ada bisikan-bisikan untuk melakukan sesuatu, dan ia akan melakukan sesuatu diluar nalarnya.
Untuk mengatasi dampak negatif terhadap penggunaan minuman beralkohol seperti tersebut diatas, seyogyanya Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur tentang minuman beralkohol. Namun, sangat disayangkan, hingga saat ini belum ada langkah-langkah kongkrit berupa regulasi untuk melarangnya, bahkan Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, telah mengeluarkan instruksi untuk mencabut beberapa Peraturan Daerah yang mengatur tentang minuman beralkohol, dengan alasan bertentangan dengan peraturan per-undang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, terkesan Pemerintah membiarkan atau mengambangkan persoalan minuman beralkohol ini.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan latar belakang dan alasan tersebut, identifikasi masalah dirumuskan sebagai berikut;
1. Minuman beralkohol pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, dapat mendorong terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mengancam kehidupan masa depan generasi bangsa, yang pada gilirannya akan merusak kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara.
2. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan turut campur atau pelibatan negara, daiam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, sebagai penyelenggara negara yang berfungsi dalam bidang legislasi nasional, memandang perlu untuk mengajukan usul inisiatif rancangan undang-undang yang mengatur tentang larangan minuman beralkohol;
3. Landasan filosofis pembentukan rancangan undang-undang tentang minuman beralkohol ini adalah demi terciptanya rasa keadilan masyarakat, landasan sosiologis merupakan kebutuhan masyarakat akan rasa keamanan, ketertiban, dan kenyamanan, dan landasan yuridis dijamin oleh Konstitusi Negara Republik Indonesia, dimana setiap warganegara berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat.
4. Adapun sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan tentang minuman beralkohol ini, akan tercermin dalam batang tubuh rancangan undang-undang ini.
C. TUJUAN, KEGUNAAN, DAN SASARAN
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan diatas, maka penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memberikan latar belakang, arahan dan dukungan dalam perumusan pengaturan, dan pengendalian minuman beralkohol dengan segala dimensinya secara menyeluruh,terpadu, dan berwawasan lingkungan;
2. Berguna sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol, dengan memberikan uraian tentang aspek pengaturan pengendalian minuman beralkohol dengan segala dimensinya, di masa kini dan masa yang akan datang;
3. Mempunyai sasaran agar terwujudnya tata pengaturan pengendalian
minuman keras sesuai dengan visi dan misi pembangunan kesehatan manusia Indonesia seutuhnya.
D. METODE
Penyusunan Naskah Akademik ini, menggunakan Metode Penelitian Hukum, baik melalui metode yuridis normatif, maupun melalui metode empiris, dan metode penelitian sosial, dengan Metode Survei, yaitu;
1. Metode Yuridis Normatif, dilakukan melalui Studi Pustaka, yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Minuman beralkohol, kemudian dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), seminar, simposium, dan lain-lain.
2. Metode Yuridis Empiris, atau sociolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif, yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan quesioner, untuk mendapatkan data non hukum yang terkait dan berpengaruh terhadap peraturan perundang-undangan yang diteliti.
3. Metode Survei, adalah metode penelitian yang digunakan untuk mencari keterangan secara faktual (Nazir, 1988). Dengan metode ini, peneliti dapat membedah, membahas, dan menganalisis suatu permasalahan yang erat hubungannya dengan pemakaian minuman keras oleh orang-orang, atau sekelompok orang-orang tertentu, dan dampaknya baik bagi pribadi yang bersangkutan, kelompok masyarakat, maupun lingkungannya.
BAB II. KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS
1. Minuman beralkohol;
Adalah minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dengan cara fermentasi dan destilasi atau fermentasi tanpa destilasi, baik dengan cara memberikan perlakuan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun yang diproses dengan cara mencampur ethanol atau dengan cara pengenceran minuman mengandung ethanol (Wikipedia, Ensiklopedia Bebas, 3 Pebruari 2012).
Berdasarkan fakta inilah, kemudian Komisi Fatwa MUI menetapkan batas maksimal kandungan alkohol (sebagai senyawa tunggal, ethanol), yang digunakan sebagai pelarut dalam produk pangan, yaitu 1 (satu) persen. Bagi konsumen Muslim, minuman yang merupakan hasil permentasi yang menghasilkan minuman beralkohol, adalah haram untuk dikonsumsi.
2. Fermentasi, dan Destilasi;
Fermentasi, adalah suatu cara untuk mengubah substrat menjadi produk tertentu yang dikehendaki dengan menggunakan bantuan mikroba, sedangkan Destilasi, adalah suatu proses pemisahan ethanol dari cairan termentasi. Adapun alkohol adalah senyawa ethanol (ethyl alcohol), yaitu suatu jenis alkohol yang paling populer digunakan dalam industri.
B. PRAKTIK EMPIRIS
Minuman beralkohol dalam kehidupan masyarakat di Indonesia
sepertinya sudah tidak asing lagi. Saat ini, minuman beralkohol dikonsumsi oleh remaja, orang dewasa, hingga orangtua yang sudah berumur, kesadaran masyarakat kita tentang bahaya minuman beralkohol masih sangat minim. Seperti halnya masyarakat yang hidup di Jalur Pantura, mereka terbiasa merayakan pesta sehabis panen dengan minuman beralkohol.
Kehidupan nelayan di laut pun, tidak jauh dari pengaruh minuman
beralkohol, malah dikonsumsi pada saat mereka melaut, dengan alasan untuk menghangatkan badan dari terpaan angin laut. Sebenarnya alasan tersebut hanya sekedar menutupi bahaya dari minuman beralkohol, kehidupan masyarakat tepi laut yang seperti itu terbentuk, seperti sudah menjadi kebiasaan, maka dari itu berlangsung turun temurun, dimana kehidupan mereka tidak bisa lepas dari minuman beralkohol.
Dari segi kehidupan sosial, minuman beralkohol sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Biasanya, seseorang mengonsumsi minuman keras, cenderung didorong oleh keadaan ekonomi minim, kondisi keluarga yang tidak harmonis, masalah yang dihadapi dan lain sebagainya.
Masyarakat kita belum sadar bahwa dengan mengonsumsi minuman
beralkohol, mereka hanya mendapatkan banyak kerugian, untuk itu pemerintah diharapkan dapat mencari solusi terbaik untuk kasus-kasus minuman beralkohol yang masih marak di negara kita ini.
C. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN NORMA (KAIDAH)
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini harus memperhatikan’ berbagai aspek bidang kehidupan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal dari hasil penelitian, dalam hal ini yaitu asas-asas yang relevan terhadap minuman beralkohol, yaitu asas keseimbangan kesehatan dan nilai-nilai ekonomis, kemanfaatan umum, keterpaduan, kelestarian, keadilan, kemandirian, asas transparansi, dan akuntabilitas.
1. Asas Keseimbangan Kesehatan dan Nilai-nilai Ekonomis
Sebagaimana diuraikan di Bab Pendahuluan, bahwa minuman beralkohol sebenarnya adalah suatu bahan yang antara lain mengandung alkohol, dimana didalamnya juga berisi ethanol, yang kalau penggunaannya tidak sesuai dengan aturan yang tercantum dalam UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, sangat berbahaya untuk kesehatan manusia.
Untuk mengeksplisitkan pengaturannya, khususnya pengendalian sejak produksi, distribusi dan konsumsi, maka persoalan minuman beralkohol perlu diatur lebih lanjut secara komprehensif dalam bentuk undang-undang. Di satu sisi secara medis, zat yang terkandung dalam minuman keras adalah zat adiktif dan termasuk bahan berbahaya bagi kesehatan manusia, namun di sisi lain adalah salah satu komoditi ekonomi yang menyerap tenaga kerja, disamping sebagai tambahan pemasukan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Oleh karena itu, untuk mengatur kedua komoditi yang bersifat positif dan negatif ini, dipergunakan asas keseimbangan kesehatan dan nilai-nilai ekonomis.
2. Asas Kemanfaatan Umum
Pengendalian minuman beralkohol dilaksanakan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kepentingan kesehatan pribadi maupun umum. Di samping itu pengendalian minuman beralkohol juga diarahkan untuk tidak merugikan kepentingan tenaga kerja, baik di pertanian/perkebunan, maupun di industri minuman.
Oleh sebab itu, didalam rancangan undang-undang ini, salah satunya memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas kemanfaatan untuk publik (umum) secara komprehensif.
3. Asas Keterpaduan dan Keserasian
Penyelenggaraan pengendalian dan keserasian dalam pengendalian
Minuman beralkohol, dilaksanakan secara seimbang dalam mewujudkan keserasian untuk berbagai kepentingan baik kepentingan kesehatan, kepentingan ekonomis (pajak dan cukai), maupun kepentingan ketenagakerjaan.
Dengan memerhatikan sifat alami dari minuman yang mengandung alkohol, dan mengupayakan penelitian yang terus-menerus secara efektif, maka diharapkan pada suatu saat akan mendapatkan minuman subsitusi yang secara bertahap dapat menggantikan minuman beralkohol, dan tidak berbahaya bagi kesehatan, serta meniadakan dampak negatif di masyarakat secara luas.
4. Asas Keadilan
Penyelenggaraan pengendalian minuman beralkohol, dilakukan merata kesemua lapisan kegiatan masyarakat di seluruh Indonesia, dan setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh lapangan pekerjaan, khususnya pada pabrik-pabrik minuman beralkohol.
Pemerintah dapat menarik pajak untuk kepentingan pembangunan kesehatan, dan hak asasi manusia yang diatur, dan diakui, serta dilindungi dalam Pasal 28 H ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dijabarkan dalam Undang-Undang No. 23/1992, Peraturan Pemerintah No. 19/2003 dan berbagai Peraturan Daerah di berbagai wilayah Indonesia.
5. Asas Kemandirian
Penyelenggaraan pengendalian minuman beralkohol, berlandaskan kepada kepercayaan akan kemampuan sendiri, dan bukan karena keterpaksaan dari dunia internasional, dengan tetap memperhatikan budaya suku bangsa Indonesia, yang secara bertahap dilakukan pengujian, agar bebas dari alkohol, dan bahan-bahan berbahaya lainnya.
6. Asas Transparansi dan Akuntabilitas
Penyelenggaraan pengendalian minuman beralkohol, merupakan proses yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, baik nasional maupun internasional. Asas ini berlaku pula bagi para pabrikan minuman beralkohol, dalam menggunakan dananya (corporate social responsibility), untuk berbagai kepentingan publik, antara lain; kesehatan, pendidikan, olah raga, dan sebagainya.
D. KAJIAN TERHADAP KONDISI YANG ADA
Konsumsi minuman beralkohol sudah menjadi masalah yang kompleks, tidak saja menyangkut masalah di bidang kesehatan tetapi juga menyangkut masalah-masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, dan perpajakan, serta tidak jarang juga masalah yang berdampak psikologis.
Di Indonesia sendiri penyalahgunaan alkohol juga menjadi masalah
kesehatan yang cukup serius. Sering munculnya pemberitaan tentang tata niaga minuman beralkohol setidaknya merupakan indikasi bahwa minuman beralkohol banyak dikonsumsi oleh masyarakat di negara dengan mayoritas penduduk muslim ini.
Sudah sering terungkap bahwa minuman beralkohol hanya akan memberikan efek negatif (mabuk) bagi peminumnya, bahkan pada beberapa kasus justru berakibat pada kematian, namun setiap tahun jumlah pecandu minuman beralkohol bukan berkurang, justru semakin meningkat. Bagi beberapa kalangan, mabuk minuman beralkohol, dianggap sebagai sarana untuk unjuk kegagahan atau kejantanan.
Penyalahgunaan alkohol yang terjadi di Indonesia menurut WHO, (WHO SEARO, 2002), dari tahun ke tahun adalah;
E. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol, akan memiliki implikasi, baik terhadap aspek kehidupan masyarakat, maupun terhadap aspek beban keuangan negara.
1. Aspek Kehidupan Masyarakat;
Penggunaan minuman beralkohol dalam kehidupan masyarakat, seringkali didasari oleh motif-motif sosial, antara lain seperti untuk meningkatkan prestige, atau adanya pengaruh pergaulan dan perubahan gaya hidup. Selain itu, aspek sosial lainnya, seperti sistem norma dan nilai (keluarga dan masyarakat), juga menjadi kunci dalam permasalahan penyalahgunaan alkohol.
Oleh sebab itu, hadirnya suatu peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur tentang Larangan Minuman Beralkohol ini adalah suatu keniscayaan, karena akan berdampak sangat positif bagi kehidupan masyarakat.
Peranan negara dalam menciptakan lingkungan yang bersih dari penyalahgunaan alkohol menjadi sangat vital. Bentuk peraturan dan regulasi tentang minuman beralkohol, serta pelaksanaan yang tegas, menjadi kunci utama penanganan masalah alkohol ini.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah, peranan provider kesehatan dalam mempromosikan kesehatan terkait masalah alkohol, baik sosialisasi di tingkat masyarakat, maupun advokasi pada tingkatan decision maker.
2. Aspek Beban Keuangan Negara;
Sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa penerapan sistem baru, apalagi yang berkaitan dengan diberlakukannya suatu peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur tentang Minuman Beralkohol, dipastikan akan memiliki dampak terhadap aspek beban keuangan negara.
Namun, dalam hal ini, kewajiban penyelenggara negara, khususnya
yang duduk di Legisiatif dan Eksekutif, harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengatur kehidupan masyarakat, dalam rangka pencapaian masyarakat yang tertib, aman, dan damai, serta sejahtera. Aspek beban keuangan negara yang dikeluarkan dari Anggaran
Belanja Negara (ABN), mulai dari pembuatan Naskah Akademik, dan draf RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol yang melibatkan banyak pihak sebagai stake- holder.
Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan antara para wakil rakyat
di Senayan dengan Pemerintah, yang tentunya memerlukan dana, pengusul sangat yakin bahwa beban keuangan negara ini sangat tidak berarti dengan manfaat yang akan diperoleh jika RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol ini, menjadi Undang-Undang dan mengikat seluruh warganegara Indonesia.
BAB III
ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KONDISI HUKUM YANG ADA
Dalam UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, masalah minuman beralkohol, tidak diatur secara eksplisit. Dalam Pasal 44 UU No. 23/1992 berbunyi:
1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif,diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya.
2) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif, harus memenuhi standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
3) Ketentuan mengenai pengaman bahan yang mengandung zat adiktif, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam Penjelasan Pasal 44 tersebut dikatakan bahwa:
1) Bahan yang mengandung zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya;
2) Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat ditekan dan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain;
Jika kita baca secara teliti, norma yang mengatur zat adiktif tersebut kurang jelas (implisit), karena masih diatur secara umum. Oleh karena itu, kemudian dilahirkan UU No. 22/1997 tentang Narkotika (yang kemudian diganti dengan UU No. 35/2009) dan UU No. 5/1997 tentang Psikotropika dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, sedangkan UU tentang Larangan Minuman Beralkohol yang bahayanya juga tidak kalah dengan Narkotika, dan Psikotropika, hingga saat ini belum pernah diterbitkan.
B. KETERKAITAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN DAERAH
Salah satu alasan yang sangat penting disusunnya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol, karena hingga saat ini belum ada suatu Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Minuman Beralkohol.
Sebagaimana telah disampaikan pada Bab Pendahuluan, bahwa
kalau masalah Minuman beralkohol ini tidak diatur dalam suatu Undang-Undang tersendiri, maka dikhawatirkan sepuluh atau dua puluh tahun yang akan datang, Indonesia akan menjadi negara loss generation karena generasi muda bangsa ini dipastikan akan semakin akrab dengan minuman beralkohol, yang nota-bene, menjadi penghancur suatu bangsa dan negara.
Oleh sebab itu, untuk membahas keterkaitan undang-undang dengan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol ini, dapat disebutkan bahwa Undang-Undang yang terkait adalah Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dampak negatifnya kurang lebih sama dengan Minuman beralkohol, dan telah diatur dalam suatu Undang-Undang tersendiri.
Dibawah ini beberapa contoh, antara lain;
1. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
a) Konsiderans Menimbang, huruf d, yaitu “bahwa penyalahgunaan psikotropika dapat merugikan kehidupan manusia dan kehidupan bangsa, sehingga pada gilirannya, dapat mengancam ketahanan nasional”
b) Ketentuan Umum, Pasal 1, point 1, sebagai berikut: “Psikotropika, adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukari narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh seloektif pada susunan saraf pusat, yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku”
2. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:
a) Konsideran Menimbang, huruf e, yaitu “bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukungoleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;”
a) Ketentuan Umum, Pasal 1, point 1, sebagai berikut; “Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampaimenghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongansebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.
4. Perda Bali No. 9 Th 2002, ttg Pengendalian Minuman Beraikohol;
Konsiderans Menimbang, huruf a, “bahwa minuman beraikohol merupakan jenis minuman dengan potensi ekonomi tinggi dan kandungan kimia yang dapat membahayakan kesehatan pemakainya, sehingga mengganggu ketertican masvarakat”
5. Perda Sumbawa No. 22 Thn 2005, tentang minuman beralkohol; Konsiderans Menimbang huruf a, “bahwa mengonsumsi minuman beralkohol dapat menimbulkan gangguan kesehatan, gangguan ketenteraman, dan ketertiban masyarakat
6. Perda Kab. Sleman No. 8 Tahun 2007, tentang Minuman Beralkohol;
Konsiderans Menimbang huruf a, “bahwa dalam rangka menjaga dan memelihara kesehatan jasmani dan rohani masyarakat, ketentraman danketertiban masyarakat, tujuan pariwisata, adat istiadat, dan agama, maka perlu adanya pengawasan dan pengendalian melalui pelarangan pengedaran, penjualan, dan penggunaan minuman beralkohol”.
7. Perda Kabupaten Kendal No. 4 Tahun 2009, ttg Minuman Keras;
Konsiderans Menimbang huruf a, “bahwa minuman keras pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, dapat mendorong terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mengancam kehidupan masa depan generasi bangsa”
C. HARMONISASI SECARA VERTIKAL DAN HORIZONTAL;
Harmonisasi bermula dari Rudolf Starnler (hltp://www.legalitas.org) yang mengemukakan bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup harmonisasi. Dengan kata lain, hukum akan tercipta dengan baik, jika terdapat keselarasan antara maksud, tujuan, dan kepentingan penguasa (pemerintah), dengan masyarakat.
Badan Pembina Hukum Nasional memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian. Proses pengharmonisasian, pada hakekatnyaadalah proses penyelarasan, penyesuaian, penyeimbangan, pensinkronisasian hukum tertulis, yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, historis, ekonomis,dan yuridis. Dalam praktek pembentukan suatu Undang-Undang, kita mengenal proses harmonisasi secara vertikal, dan horizontal, yaitu;
Namun, di dalam prakteknya, proses pengharmonisasian ini pernah juga mengundang kontroversial, misalnya Mendagri rnenginstruksikan peninjauan kembali Peraturan Daerah-Peraturan Daerah yang mengatur tentang minuman beralkohol, diharmonisasikan dengan Produk Perundang-Undangan diatasnya
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. LANDASAN FILOSOFIS;
Minuman beralkohol pada dasarnya merupakan suatu bentuk gangguan terhadap kehidupan dan penghidupan masyarakat, oleh karena itu, secara filosofis, pembentukan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, merupakan bagian dari pemenuhan tujuan bernegara Republik Indonesia, yaitu melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Upaya melindungi segenap rakyat dan bangsa Indonesia, dikuatkan pula dengan hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dari ancaman ketakutan untuk berbuat, atau tidak berbuat sesuatu, yang merupakan hak asasi, hak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat, serta berhak mernperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28 G, ayat (1), dan Pasal 28 H, ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS;
Pertimbangan sosiologis berkaitan dengan permasalahan empiris, dan kebutuhan yang dialami oleh masyarakat, yang menyangkut tentang pengaturan dan pengendalian minuman beralkohol. Oleh karena itu, secara sosiologis, UU tentang Larangan Minuman Beralkohol haruslah memberikan jawaban atau solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan penanganan bahaya yang diakibatkan oleh minuman beralkohol.
Sementara itu, jika kebiasaan dari sebagian masyarakat, atau di daerah-daerah tertentu mengonsumsi minuman beralkohol karena dianggap merupakan warisan tradisional (arak, tuak, Sopi, Lapen, dll), jika dikaitkan dengan sisi agama, dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, dan minuman beralkohol hukumnya haram, maka hal ini akan sangat bertolakbelakang. Aspek sosiologis lainnya, adalah bagaimana me-“manage” dampak negatif dari minuman keras dengan cara pencegahan (preventive), pengurangan resiko (preparedness), daya tanggap (response), serta upaya pemulihan (recovery), akibat minum minuman beralkohol.
C. LANDASAN YURIDIS
Aspek yang berkaitan dengan hukum (yuridis) dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Beralkohol ini, dikaitkan dengan peran hukum baik sebagai pengatur perilaku (social control), maupun sebagai instrumen untuk penyelesaian suatu masalah (dispute solution). Aspek yuridis ini sangat diperlukan, karena hukum, atau peraturan perundang-undangan dapat menjamin adanya kepastian (certainty), dan keadilan (fairness) dalam penanganan akibat minuman beralkohol ini.
Dalam kaitannya dengan peran dan fungsi hukum tersebut, maka persoalan hukum yang terkait dengan pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan terhadap penggunaan minuman beralkohol masih bersifat sektoral, dan parsial, sedangkan kebutuhan yang sangat mendesak adalah adanya undang-undang yang menjadi payung (umbrella), bagi semua peraturan-perundang-undangan yang ada, yaitu Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Daerah dibeberapa Propinsi, dan Kabupaten/Kota di Indonesia.
Oleh sebab itu, agar hubungan antar peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya dapat terjalin dengan harmonis, baik vertikal, maupun horizontal, maka pertimbangan yuridis pembentukan suatu peraturan perundang-undangan tentang minuman beralkohol dalam bentuk undang-undang, adalah suatu keniscayaan, demi menyelamatkan generasi bangsa Indonesia kedepan.
BABV
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,
DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
A. JANGKAUAN PENGATURAN
Lingkup atau Jangkauan pengaturan, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Minuman Keras ini, mencakup hal-hal sebagai berikut:
Larangan minuman beralkohol;
Ruang lingkup;
Pengawasan;
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan;
Peran serta masyarakat;
Kerjasama luar negeri;
Ketentuan Pidana;
Ketentuan Umum;
Ketentuan penutup
B. ARAH PENGATURAN
Walaupun pengaruhnya terhadap individu berbeda-beda, namun terdapat hubungan antara konsentrasi alkohol di dalam darah atau Blood Alkohol Concentration (BACj dan efeknya. Euphoria ringan dan stimuiasi terhadap perilaku, lebih aktif seiring dengan meningkatnya konsentrasi alkohol di dalam darah. Resiko intoksikasi (mabuk) merupakan gejala pemakaian alkohol yang paling umum.
Penurunan kesadaran seperti koma, dapat terjadi pada keracunan alkohol yang berat, demikian juga natas terhenti hingga kematian. Selain itu, efek jangka pendek alkohol dapat menyebabkan hilangnya produktifitas kerja. Alkohol juga dapat menyebabkan perilaku kriminal. Ditengarai 70% dari narapidana menggunakan alkohol sebelum melakukan tindak kekerasan, dan lebih dari 40% kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh alkohol.
Selain dampak negatif yang telah dijelaskan diatas tadi, mengonsumsi alkohol yang berlebihan dalam jangka panjang, dapat menyebabkan penyakit kronis seperti kerusakan jantung, tekanan darah tinggi, stroke, kerusakan hati, kanker saluran pencernaan, gangguan pencernaan lain (misalnya tukak lambung), impotensi, dan berkurangnya kesuburan, meningkatnya resiko terkena kanker payudara, kesulitan tidur, kerusakan otak dengan perubahan kepribadian dan suasana perasaan, sulit dalam mengingat, dan tidak berkonsentrasi.
Oleh sebab itu, didalam penyusunan Rancangan undang-undang tentang Larangan Minuman Beralkohol ini, diperlukan ketegasan tentang larangan minuman beralkohol tanpa terkecuali.
C. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
Berbicara mengenai istilah “materi muatan” kita tidak dapat melepaskan diri dari penciptanya yaitu A. Hamid, SA. Dalam hal ini kita tetap menghormati para ahli hukum dan perundang-undangan seperti Irawan Suyito, Rusminah, Suhino, Yuniartro, Bagir Manan, Solly Lubis, dll.. Di mata penulis, A. Hamid, SA adalah “Bapak Perundang-undangan Indonesia” (paling tidak salah satunya).
Banyak sekali pendapat, teori, dan istilah yang dikembangkan oleh A.Hamid, SA, yang berkaitan dengan dunia perundang-undangan. Salah satunya adalah istilah “materi muatan”, yang diperkenalkannya pada tahun 1979 dalam tulisannya yang berjudul “Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan”, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam disertasinya tahun 1990, dengan judul “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”.
Dalam disertasinya, A. Hamid, SA mengeluh belum adanya tradisi di Indonesia untuk menghormati ciptaan dalam bidang ilmiah dibandingkan dengan di negara-negara maju. Menurutnya, di Belanda setiap penulis yang mengutip sesuatu karya cipta ilmiah penulis lainnya (biasanya suatu istilah atau kata atau frasa yang mengandung makna tertentu), selalu disebutkan biasanya dalam catatan kaki siapa pencipta istilah atau kata tersebut. Oleh A. Hamid, SA dalam disertasinya dikutipkan berbagai istilah yang diciptakan oleh para ahli hukum dan perundang-undangan Belanda, misalnya van der Hoeven dengan istilahnya “pseudowetgeving”, Mannoury dengan istilahnya “spiegelrecht”, T.Koopmans dengan istilahnya “moditicatie” dalam kalimalnya “de wetgever streeft niet meer primair naar codificatie maar naar modificatie”.
Adapun mengenai “materi muatan” tidaklah semudah apa yang dibayangkan orang. Kalau istilah “peraturan perundang-undangan” dengan segala macam seluk-beluknya barangkali para ahli hukum tata Negara sudah banyak membicarakannya dan membahasnya, walaupun sampai sekarang-pun belum ada kesepahaman mengenai “peraturan perundang-undangan”, namun paling tidak, para ahli perundang-undangan telah mengeluarkan berbagai teori. Misalnya teori “undang-undang dalam artian formil.
Dikutip dari Machmud Aziz, “Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan”. Materi pokok pelajaran dalam Diklat Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (Legislative Drafting Courses) di Departemen Kehakiman dan HAM dan berbagai Departemen/LPND lainnya, maupun di Pemerintah Daerah/DPRD.
Istilah “materi muatan” merupakan terjemahan dari kalimat “net eigenaardig onderwerp der wet te omscrijven” dari Torbecke dalam “Met Wetsbegrip in Nederland”, 1966, hal.47, karangan Bohtlink/Logemann, yaitu: De Grondwet ontleent het begrip van wet enkel van den persoon, die haarmaakt. Zij heeft de vraag opengelaten, wat moet bij ons door eene wet, eneat kan op eene andere wijze warden vastgesteld ? Even als andere Grondwetten, heeft zij zich onthouden het eigenaardig onderwerp der wette omschrijven.”
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) meminjam pemahaman tentang Undang-Undang (UU), hanyalah dari sudut pejabat atau lembaga yang membentuknya. Undang Undang Dasar (UUD), membiarkan pertanyaan terbuka mengenai apa yang di negara kita, harus ditetapkan dengan Undang Undang dan apa yang boleh di ditetapkan dengan cara lain.
Demikian pula ilmu hukum tata usaha negara telah banyak mempersoalkan kaidah-kaidah bagi teknik dan proses pembentukan berbagai jenis peraturan perundang-undangan. Namun demikian, menurut A. Hamid, SA keduanya belum menyinggung secara mendalam dan membiarkannya tanpa kejernihan mengenai rnasalah “materi muatan” peraturan perundang-undangan yang semestinya dirnuat dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan.
Mengenai apa yang harus dimuat dalam suatu jenis peraturan perundang-undangan baru, A. Hamid, SA, yang mengeluarkan teorinya secara signitikan pada tahun 1979, dan sebagai konseptor “materi muatan”, mengatakan bahwa berdasarkan UUD 1945 (sebelum amandemen) ada 18 hal (butir) yang secara tegas-tegas diperintahkan oleh UUD 1945.
Akan tetapi, sesudah terjadinya Perubahan Pertama UUD 1945, Perubahan Kedua UUD 1945, Perubahan Ketiga UUD 1945, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (SIUM MPR 1999, ST MPR 2000, ST MPR 2001, dan ST MPR 2002), yang secara tegas-tegas harus diatur lebih lanjut dengan undang-undang menjadi kurang lebih 40 hal (butir) yaitu:
Pasal2ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (7), Pasal 18A ayat (1), Pasal ISA ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20A ayat (4), Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 22C ayat (4), Pasal 22D ayat (4), Pasal 22E ayat (6), Pasal 23A, Pasal 23B, Pasal 23C, Pasc, 23D, Pasal 23E ayat (3), Pasal 23G ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24A ayat(1), Pasal 24A ayat (5), Pasal 24B ayat (4), asal 24C ayat (6), Pasal 25, Pasal 25A, Pasal 26 ayat (3), Pasal 281 ayat (5), Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (3), & Pasal 33 ayat (5), Pasal 34 ayat (4), dan Pasal 36C.
Hal-hal lain yang harus diatur dengan undang-undang adalah yang berkaitan dengan asas konstitusionalisme dan asas negara berdasar atas hukum (rechtsstaat). Disamping itu, hal-hal yang membebani masyarakat, mengurangi kebebasan orang atau yang berkaitan dengan HAM, juga merupakan materi muatan undang-undang.
Apabila ke-40 hal tersebut yang perlu diatur atau ditetapkan dengan undang-undang dirinci, maka kita akan mendapatkan muatan undang-
undang yang materi-materinya dapat dirumuskan sebagai berikut:
Menurut A. Hamid, SA dari apa yang tercantum diatas ternyata materi muatan dalam hurut c, kemudian h, ialah yang paling luas, karena didalamnya termasuk hal-hal yang menyangkut pengaturan disertai sanksipidana, pencabutan hak milik, dan sebagainya yang berkaitan dengan”terganggu”-nya hak-hak asasi (HAM), dan hak-hak warganegara.
Khusus mengenai “undang-undang dalam arti formil” yang tidak memuat materi peraturan seperti pengesahan perjanjian dan juga penetapan anggaran pendapatan dan belanja negara, haruslah diakui bahwa karena sifatnya itu, maka tidak diperlukan lagi adanya pengaturan lebih lanjut, baik dengan Peraturan Pemerintah maupun dengan Keputusan Presiden, sedangkan Materi muatan Perpu adalah sama dengan undang-undang.
Maksudnya bahwa apa yang dapat diatur dalam suatu Undang-Undang, juga dapat diatur dalam suatu Perpu yang dibuat oleh Presiden dalam keadaan yang memaksa, karena untuk membuat suatu UU terlalu lama padahal masalah yang harus diatasi sangat genting dan mendesak
(vide Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945).
Berdasarkan ajaran A. Hamid SA tentang “materi muatan” maupun berdasarkan ketentuan Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011, maka masalah pengendalian minuman beralkohol, karena menyangkut hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, untuk mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, dan untuk berkreasi dan berekspresi, hak dan kewajiban warga negara, keuangan negara, dan untuk mendapatkan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia tersebut, maka pengendalian minuman beralkohol, merupakan salah satu materi muatan undang-undang ini.
Selanjutnya, mengenai ruang lingkup Materi Muatan, pada dasarnya mencakup:
1. Ketentuan Umum
Dalam ketentuan umum ini, memuat rumusan akademik mengenai
pengertian istilah, dan trasa, yaitu;
2. Materi Muatan Yang Akan Diatur;
Sebagaimana diuraikan di atas, maka materi muatan atau substansi
yang berkaitan dengan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, harus diatur sejak dari hulu sampai dengan hilir, atau sejak dari produksi minuman keras sampai dengan penggunaannya (konsumsi), termasuk ekspor dan impornya. Adapun materi muatan Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol, meliputi, antara lain:
Norma yang dapat dibuat :
Norma yang dapat dibuat :
Norma yang dapat dibuat :
Norma yang dapat dibuat :
e. Peran serta masyarakat
Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah:
1) Setiap warga atau kelompok masyarakat, pimpinan institusi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi kemasyarakatan dapat berperan serta secara aktif untuk memberikan masukan sekaligus pengawasan terhadap jalannya pengendalian minuman beralkohol;
2) Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan, dapat melakukan gugatan publik, atau gugatan perwakilan kelompok (class action), hak gugat LSM (legal standing), dan gugatan oleh warga negara (citizen law suit), terhadap pelanggaran terhadap UU ini;
3) Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dapat melakukan laporan dan pengaduan atas pelanggaran Undang-Undang ini.
4) Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dapat memberikan informasi atas pelanggaran Undang-Undang ini.
f. Penegakkan Hukum dan Ketentuan Sanksi;
Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah:
a. Sanksi pidana dikenakan kepada setiap orang yang melanggar
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
g. Ketentuan Peralihan
BAB VI P E N U T U P
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang , Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, di Bab Penutup ini, diuraikan juga tentang Sub Bab mengenai Kimpulan dan Sub Bab Saran.
A. KESIMPULAN
1. Minuman beralkohol pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, dapat mendorong terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mengancam kehidupan masa depan generasi bangsa, khususnya bangsa Indonesia.
2. Saat ini belum ada peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-Undang yang khusus mengatur tentang Larangan Minuman Beralkohol, yang sudah diberlakukan berupa Keppres dan beberapa Peraturan Daerah, baik di tingkat Propinsi, maupun di tingkat Kabupaten/Kota.
B. SARAN
1. Untuk mencegah terjadinya gangguan dan ketertiban masyarakat, dan meluasnya pemakaian minuman keras, dan menyelamatkan generasi bangsa Indonesia, perlu diterbitkan Undang-Undang khusus yang mengatur tentang Larangan minuman Beralkohol;
2. Untuk melaksanakan amanah Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang intinya, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, maka RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, hendaknya menjadi Prioritas dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013, dan dibahas serta diundangkan dalam Tahun 2013.
DAFTAR PUSTAKA
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945:
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nornor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya mengenai teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, khususnya mengenai I teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia;
7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol;
8. Kutipan Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pedoman Fatwa Produk Halal;
9. Peraturan Daerah Propinsi Bali Nomor 9 Tahun 2002 tentang , Pengawasan dan Pengendalian Peredaran Minuman Beralkohol;
Keras”, oleh AnneAhira.com Content Team, print out, 15 Pebruari 2012;
[1] @ RUU Larangan Minuman Beralkohol merupakan RUU Usul Inisiatif Fraki PPP DPR RI
@ RUU ini telah masuk dalam Daftar Prolegnas RUU Prioritas tahun 2013 Nomor Urut 63
dengan Judul RUU Pengaturan Minuman Beralkohol