Anggota DPD RI yang juga Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras Fahira Idris mengungkapkan pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol (LMB) sudah terlalu lama. Sebab pembahasan RUU tersebut sudah berlangsung hampir 15 tahun.
Selain masuk dalam Daftar RUU Prolegnas Prioritas 2024 nomor urut 13, pengesahan RUU LMB ini mendesak mengingat. Menurutnya, aturan setingkat undang-undang (UU) soal minuman beralkohol atau minuman keras (miras) belum ada.
Selain selalu masuk Prolegnas, RUU LMB ini sebenarnya sudah mulai dibahas sejak DPR periode 2009-2014, kemudian dilanjutkan periode 2014-2019 hingga periode DPR 2019-2024. Pada 2024 ini, RUU LMB juga kembali masuk Prolegnas.
“Saya sangat berharap menjelang akhir jabatan ini, DPR mau mengesahkan RUU LMB menjadi undang-undang. Ini akan jadi kado terbaik bagi masyarakat terutama banyak orang tua dan anak-anak Indonesia. Pengesahan ini juga akan menjadi tonggak sejarah bahwa akhirnya setelah 78 tahun merdeka, Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur soal miras secara komprehensif. Para Anggota DPR periode 2029-2024 akan dicatat dengan tinta emas sejarah legislasi di negeri ini,” ujar Fahira Idris melalui keterangan tertulisnya (25/3/2024).
Dia mengatakan aturan terkait miras yang ada saat ini sudah tidak bisa lagi menjawab kompleksitas persoalan produksi, distribusi, konsumsi dan terutama untuk melindungi generasi muda dan anak-anak dari bahaya miras. Hal tersebut diungkapkan olehnya saat berada di Komplek Parlemen, Senayan, hari ini.
Menurutnya, aturan setingkat UU dibutuhkan karena sebagai benda yang bernilai ekonomi tetapi mempunyai dampak sosial yang besar, sudah selayaknya miras diatur dalam aturan hukum yang tegas, komprehensif, jelas, dan berlaku secara nasional.
“Regulasi yang mampu menetapkan aturan hukum yang tegas, komprehensif, jelas, dan berlaku secara nasional adalah regulasi setingkat UU yang akan menjadi payung hukum dari berbagai aturan turunan lainnya termasuk peraturan daerah,” jelasnya.
Dia mengatakan dampak buruk miras sangat luas dan multidimensi mulai dari kesehatan, perlindungan anak, kecelakaan, KDRT, kriminalitas, dan dampak sosial lainnya. Fahira menegaskan itulah kenapa negara-negara di dunia bahkan yang paling sekuler sekalipun sudah berpuluh-puluh tahun mempunyai undang-undang soal miras terutama untuk melindungi generasi muda.
“Sekali kali, saya berharap menjelang akhir masa jabatannya ini, DPR bersedia memberi kado indah bagi masyarakat dengan mengesahkan RUU LMB,” pungkas Fahira.
Sebagai informasi, jika merujuk kepada naskah RUU LMB yang terakhir, berbagai ketentuan di dalam RUU ini sudah sangat akomodatif, komprehensif, mempunyai formulasi sanksi hukum yang tegas, dan mempunyai muatan perlindungan anak. Selain itu, unsur kolaboratif juga sangat baik, karena RUU ini juga mengatur melibatkan masyarakat (tokoh agama/tokoh masyarakat) bersama unsur pemerintah, pemerintah daerah, dan penegak hukum dalam mengawasi kegiatan memproduksi, memasukan, menyimpan, mengedarkan, menjual, dan mengonsumsi minol.
Meskipun judulnya ‘larangan’ kehadiran RUU bertujuan menjadikan minol hanya untuk kepentingan terbatas, bukan sebuah produk yang bebas diproduksi, dijual, atau dikonsumsi. Pengaturan seperti ini juga dilakukan banyak negara lain bahkan negara yang punya kebiasaan minum alkohol seperti negara Eropa dan Amerika. DETIK